aSepanjang perjalanan karir, menulis farewell letter tentu bukan hal yang kita inginkan. Pertama kali menulis farewell letter untuk keluarga FAB Cargo dulu perlu waktu semalam suntuk lantaran saya mengurai kesan dan pesan untuk tiap orang. Belajar dari pengalaman itu, ternyata farewell letter cukup ampuh menjaga komunikasi dengan klien maupun co-worker. Sampai sekarang kami masih berkomunikasi, saling bertukar informasi.
Sayangnya, sekali lagi saya harus menulis farewell letter. Kali ini lebih sulit karena inspirator saya lebih banyak. Teman kantor, teman sesama wartawan, dan teman yang saya kenal dari setiap kesempatan liputan / wawancara, ternyata banyak sekali. Setelah merenung di HokBen stasiun Gambir usai menukar tiket liburan, jadilah farewell letter berikut ini:
Sebetulnya melalui surat itu saya ingin bercerita kepada semua orang tentang sahabat-sahabat di SWA alias SWAnizer yang saya kagumi. Namun, atas nama efisiensi, saya urungkan. Penggalan cerita tentang SWAnizer akan saya ungkap di sini. Simak baik-baik!

Di antara Pasukan Gerak Cepat, reporter SWA usia 31 tahun ke bawah, Ario Fajar adalah yang paling ‘dituakan’. Dia memang bukan yang paling tua secara umur, tapi dia yang paling senior. Di antara padatnya populasi orang Jawa di kantor redaksi SWA, Ario justru paling anti dipanggil ‘Mas’, apalagi ‘Bang’. Pria berkacamata yang rajin fitness dan diet ini memang orang Betawek (Betawi dalam bahasa Mbak Eva) yang selalu berusaha bergaya muda dan modis. Dengan segala tingkah polah khas seorang Ario, satu hal yang saya kagumi darinya, dan ini sangat jarang tertanam di pribadi manapun: Ario tidak pernah membicarakan hal buruk orang lain. Ketika kami ngerumpi, berkeluh kesah tentang ulah SWAnizer lain, Ario hanya akan mendengarkan dan tertawa bila perlu. Tapi dia tidak pernah ikut menimpali. Saya rasa kalau lah Ario punya dosa, pastilah perkara nyomot makanan orang biar irit dan gajinya utuh! Hahaha…
Bicara tentang masa depan SWA, saya cukup yakin Ario ada di sana. Dia tahu kapan harus bersikap sebagai teman, sahabat, bahkan pemimpin. Hm, mungkin kemampuan kepemimpinan itu dia dapat dari summer-camp konsultan bisnis D****is yang kerap diikutinya. Dia juga satu-satunya sahabat di SWA yang bisa diajak ngobrol tentang Bahasa Inggris dan cita-cita go international. Saya rasa dia titisan Agnes Monica yang terselip dengan nasib yang berbeda.
Kalau ditanya siapa orang yang paling banyak memberi pengaruh positif terhadap perjalanan karir saya di SWA Online, setelah Pak Kusnan sang Pimred, adalah Deno. Dia sosok senior atau kakak yang helpful dan apa adanya. Dia juga punya idealisme tinggi terkait jurnalisme. Ketika saya masih baru menginjakkan kaki di SWA, Deno banyak membagikan ilmu baru. Mulai dari bagaimana jurnalistik seharusnya, jurnalisme online, karakter jurnalisme SWA, dan sebagainya. Yang tidak bisa saya lupa, Deno adalah biker handal yang ramah. Walaupun disibukkan dengan transkrip rekaman wawancara, dia akan membuka headsetnya dan menanggapi pertanyaan saya, apapun itu. Bahkan awal-awal saya mengendarai motor di Jakarta, Deno lah yang dengan sabar memberi petunjuk jalan mana yang bisa dilalui menuju tempat liputan. I owe him a big!
Meski belum lama di SWA, jebolan pasca sarjana Hubungan Internasional Universitas Indonesia ini termasuk salah satu reporter kesayangan redaktur kami. Bagaimana tidak, performanya nyaris dua kali lipat performa Lila yang relatif lebih senior. Meski demikian, ‘alumnus’ Kompas.com ini sangat humble, dan kerap membagi tips nulis kilatnya. Yah, walaupun belum bisa kami terapkan. Hehehe… Seperti tertulis pada farewell letter saya, Ester memasukkan prinsip jurnalisme dalam kehidupan sehari-harinya. “Wartawan dituntut untuk tahu berita dari sumbernya, supaya tidak simpang siur dan ketika ada yang tanya tidak salah. Itu berlaku di kehidupan sehari-hari.” Quote ini saya peroleh dari perbincangan hangat kami di whatsapp. Ketika isu resign saya mulai beredar, gosip miring pun merebak. Ester lah yang paling responsif dan mengklarifikasi isu tersebut secara langsung. Terima kasih, Ester!