“Susan! Astrid! Sini!” teriakku sekenceng-kencengnya dari luar gate.
Kalau aku ingat-ingat lagi, kayaknya teriakanku lebih kenceng daripada om-om calo taksi yang entah kenapa mendadak baik sama penumpang pesawat yang baru nyampe, “Taksi, taksi! Biar nggak capek Mbak, diantar sampai rumah. Ayo Mbak, pulang ke mana? Saya ikut Mbak pulang ke mana aja.”
Baik banget kan? Pasrah lagi, rela ikut ke mana aja. Demen nih yang begini!
“Wah, jauh tuh Mbak. Tapi nggak pa pa deh, buat Mbaknya 500 ribu ya?”
“Buset dah! Kalau 500 ribu mah saya naik pesawat lagi aja udah nyampe Singapura, bisa minum air ludah singa sejigong-jigongnya.”
Kenapa jadi bahas taksi?! Eniwei, balik lagi ke Susan dan Astrid. Mereka menghambur keluar menghampiri aku dan kami berpelukan ala-ala Teletubbies. Iya, ransel segedhe ABG itu dipeluk juga.
“Kalian mau tukar uang? Jangan ke money changer bandara, kursnya jahat banget. Perlu berapa?”
“Seratus dollar?” kata si cewek Meksiko, Astrid.
“Aku seratus poundsterling aja,” kata si British, Susan.
Hitung, hitung, hitung, ternyata aku punya sisa-sisa rupiah di bank sejumlah yang mereka butuhkan.
“Ini Rp 1,300,000 buat Astrid, Rp 1,600,000 buat Susan. Happy?”
Mereka bengong terima lembaran rupiah merah itu.
“Tik, ini duit beneran? Bukan duit monopoli? Nolnya banyak banget?”
“Ini nggak kebanyakan, Tik? Kamu pasti orang kaya banget ya?”.
Sekarang aku yang bengong. Aku salah apa yak diserbu pertanyaan aneh begini?
“Eh santai, santai. Duit asli nih, sisa-sisa tabunganku di rekening rupiah. Baru aja ambil di ATM deket toko roti sebelah sana tadi. Kebetulan aku harus bayar tagihan rumah di Southampton sama top-up PayPal. Jadi kamu transfer ke Lloyd’s atau PayPal nggak papa.”
Sepersepuluh detik kemudian..
Aku ngomong udah nggak didengerin.
Mereka sibuk foto-foto uang kertas seratusribuan. Judulnya: I’m fielthy rich!
Duh!

